SELAMAT DATANG DI BLOG MAJELIS ROTHIB DAN MAULID "AL-ITTIHAAD" NGUNUT TULUNGAGUNG

Arsip

Majelis AL-ITTIHAAD Ngunut. Diberdayakan oleh Blogger.

KH. Ihsan Muhammad Dahlan

Ditulis Oleh Unknown on Sabtu, 08 November 2014 | 09.05

Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut , karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan ( ulama timur tengah ). Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut?? KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura. Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarah atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali. ”Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,” Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz. Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari ( lombok ) . Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang. Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.

Pondok Tremas Pacitan

Setelah Bagus Darso (nama kecil KH. Abdul Manan) menyelesaikan pelajarannya di Pondok Tegalsari Ponorogo, beliau lantas mendirikan pondok di daerah Semanten [2km arah utara kota Pacitan], Namun dikemudian hari pondok tersebut akhirnya dipindah ke Tremas.
Usaha pertama kali yang dilakukan untuk membangun tempat pengajian sudah barang tentu mendirikan sebuah masjid (terletak agak ke sebelah timur dari masjid yang sekarang). Dan setelah santri-santri dari jauh yang sebagian berasal dari bekas santri-santrinya di Semanten mulai berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama pondok di sebelah selatan masjid. Sudah barang tentu keadaan masjid dan asrama pondok pada waktu itu masih sangat sederhana sekali, atapnya masih menggunakan daun ilalang dan kerangka lainnya masih banyak yang menggunakan bahan dari bambu.
Perkembangan Pondok Tremas pada masa itu sumber dananya diperoleh dari mertuanya, yaitu Demang Tremas Raden Ngabehi Honggowijoyo, karena membangun pondok adalah memang merupakan tujuan utama dari Raden Ngabehi Honggowijoyo untuk mengambil Bagus Darso sebagai menantu.

Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M

Pondok Lirboyo

Kediri mendapat julukan "kota santri", karena saking banyaknya pondok pesantren yang ada di daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang terkenal dan terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo. Berikut ini sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo yang kini telah berusia satu abad lebih.

Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo.  Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.

Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan 

menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan  alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim)  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang 
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.

Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap  sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M.  Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.


PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA

Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH. 
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.

Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan  rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.

Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon 
Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia  itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .

Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun  menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang  lebar. Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada 

sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura  untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya. 

Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo.

Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun.

Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh.  Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri.


KH Kholil Bangkalan Madura

 Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.


Biografi KH.Ali Shodiq Umman

Ditulis Oleh Unknown on Rabu, 05 November 2014 | 23.50

Ali Shodiq, demikian nama aslinya. Lahir sekitar tahun 1929 M di dusun Gentengan lingkungan IV kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.Ali Shodiq waktu itu lahir dan tinggal bersama masyarakat Ngunut yang sangat minim akan pengetahuan agama. Boleh dibilang, karena sangking tidak mengertinya tentang agama, biasa disebut dengan istilah masyarakat abangan. 
Ayah Ali Shodiq bernama Pak Uman. Ia adalah kusir dokar yang hidup sederhana dan taat beribadah. Ibu Ali Shodiq bernama Bu Marci. Pasangan suami istri ini datang dari daerah beranama Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Mereka berdua sangat mendambakan seorang anak yang 'alim 'allamah dalam hal agama. Sehingga, Pak Uman pun, sangat senang dan hormat pada setiap kyai dan santri yang ia temui. Setiap kali ada santri yang menumpang dokar beliau, beliau siap mengantarkannya kemanapun santri itu pergi, tanpa memungut upah darinya.

Diasuh Paman Dari Ibu
Ali Shodiq adalah anak ke-7 dari 18 bersaudara. Namun yang hidup hingga dewasa adalah 10 orang. Masing-masing adalah Intiamah, M. Syarif, Markatam, Abdul Syukur, Abdul Ghoni, Umi Sulkah, Ali Shodiq, Amini, Khoirul Anam dan Marzuki. Sedang, yang 8 lainnya wafat ketika masih kecil sehingga tidak jelas namanya.
Sejak umur sepasar (lima hari), Ali Shodiq diasuh oleh paman beliau. Namaya Pak Tabut. Pak Tabut ini merupakan masih adik dari Ibu Marci. Pak Tabut adalah seorang pedagang batik dan pemborong palawija yang cukup mapan perekonomiannya. Beliau tinggal bersama istrinya, Ibu Urip, dari Olak Alung, nama salah satu daerah di Ngunut, yang konon dulu, daerah ini merupakan daerah basis PKI (Partai Komunis Indonesia), tepatnya di jalan raya 1 No. 34 Ngunut, yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut (PPHM-Ngunut) pusat.
Ali Shodiq sangat disayang oleh Pak Tabut dan istrinya, Ibu Urip. Kebetulan, pasangan suami istri ini tidak di karuniai seorang anakpun. Dalam momongan Pak Tabut pun, Ali Shodiq hidup dalam kecukupan. Segala keinginan terpenuhi. Sejak itu pulalah, beliau sangat suka dengan kuda. Namun, di balik itu semua, beliau, Ali Shodiq, yang masih muda merasa prihatin dengan keadaan/kondisi masyarakat sekitar Ngunut yang dalam pola hidupnya jauh dari nilai-nilai agama.
Hingga sejak kecil, beliau Ali Shodiq, mulai belajar mengeja huruf-huruf  Al Qur'an dan cara-cara beribadah kepada Bapak Mahbub, di desa Kauman, Ngunut.
Setelah menamatkan sekolah rakyat—dahulu tidak ada SD—Ali Shodiq kemudian mulai “mengembara” ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Jika dihitung-hitung, pengembaraan mencari ilmu beliau, kurang lebih selama 26 tahun. Di awali dari Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Beliau di sini tidak begitu lama, kemudian beliau nyantri ke Pondok Pesantren Jampes, Kediri, yang waktu itu diasuh oleh K.H. Ihsan Dahlan.*
Sepeninggal Mbah Yai Ihsan, Ali Shodiq kemudian pindah ke pesantren Lirboyo (PP Hidayatul Mubtadiien), Kediri. Untuk bulan puasa, Ali Shodiq sering mondok di Pesantren Treteg, Pare, Kediri, yang diasuh oleh K.H Juwaini dan pernah juga ke Pesantren Mojosari, Nganjuk, asuhan K.H Zainuddin. Ali Shodiq juga pernah tabarukan(alap berkah: mencari berkah karena dan untuk Allah kepada ulama’ / wali sepuh) ke Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Asuhan romo K.H Hasyim Asy’ari (Salah Satu Pendiri NU—Nahdlatul Ulama’) dan pada K.H Ma'ruf , Kedoglo, Kediri.
Sewaktu beliau, Ali Shodiq, masih nyantri di Pesantren Jampes, Kediri, beliau meminta kepada ibu angkat beliau, Mbah Urip, untuk mendirikan sebuah langgar (mushola.red) kecil di rumahnya, yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut (PPHM-Ngunut).

Dari Lirboyo Menuju ke Pelaminan
Menurut Mbah K.H Ihsan (Pengasuh Pondok Pesantren Abul Faidl, Bakalan, Wonodadi, Blitar) setelah K.H Ihsan Jampes wafat sekitar tahun 1952, Ali Shodiq pindah ke Pesantren Lirboyo yang waktu itu masih diasuh oleh K.H Abdul Karim. Waktu Ali Shodiq mondok di sinilah, ada peristiwa yang penting, yakni sekitar tahun 1958, ada seorang Kyai dari Mbaran, Kediri, K.H Umar Sufyan yang mencari beliau untuk dinikahkan.
Ali Shodiq waktu itu, karena sami’na wa ‘atho’na dengan guru, beliau mau saja untuk dijodohkan. Tak disangka, rupanya beliau dijodohkan oleh putri kandung dari KH. Umar Sufyan sendiri, yakni Auliyah (setelah ibadah haji di ganti menjadi Hj.Siti Fatimatuzzahro'). Padahal, Auliyah ini, waktu itu masih berumur 7 tahun. Namun, akad nikahpun akhirnya tetap dilaksanakan secara sederhana.
Hari bahagia nan penuh berkah, akad nikah seorang calon kyai dengan putri seorang kyai pun berlangsung jua. Dengan diantar beberapa santri Lirboyo, beliau berangkat dari Pondok Pesantren (ponpes) Lirboyo menuju Mbaran, Kediri.

Ali Shodiq, Santri Yang Tekun
Di mata kawan sesama santri, termasuk KH. Mushtofa Bisri (Gus Mus), Ali Shodiq muda dikenal sebagai santri yang tekun, cerdas dan sangat ta'dzim (hormat) kepada guru-guru beliau. Hingga beliau menjadi Kyai kharismatik di wilayah Tulungagung pun, beliau masih ta'dzim kepada dzuhrriyah (keluarga.red) guru-gurunya. Meski mereka sudah berada di alam kubur, namun Ali Shodiq bahkan ketika sowan-ziyarah ke makam guru-guru beliau pun, selalu melepas sandal dan berjalan jongkok.
Ali Shodiq juga dikenal ketika setiap kali mbalah (mengaji kitab.red) selalu mencari waktu yang tidak bersamaan dengan qori' atau pengkaji yang lain, yaitu di atas jam 12.00 malam. Bertempat di panggung lama atau di Al-Ikhwan (nama tempat. red). Beliau tahu betul, jika pengajian dilakukan secara bersamaan, maka qori’ yang lain akan sepi pengikut.
Ali Shodiq juga di kenal sebagai Ahli Tahqiq, sebab setiap kali akan mbalah, jika belum memahami apa yang akan dikaji, beliau tidak jadi melakukan dan menunggu sampai faham betul terhadap hal-hal yang akan dikaji oleh beliau tersebut. Juga, beliau sering mengikuti satu kitab secara berulang-ulang, dengan setiap ikut kitabnya selalu baru.
Menurut Pak Ghufron, salah seorang teman sekaligus santri beliau, ketekunan Ali Shodiq ini sulit digambarkan, sehingga tidak pernah diketahui kapan beliau tidur. Seakan-akan waktu hanya dicurahkan untuk mathala'ah  (belajar.red) yang bahkan beliau sering ketiduran dalam keadaan mathala'ah tersebut.
Kesibukan Ali Shodiq selain mbalah, beliau juga menyoroki (mengajarkan membaca.red) Al Qur'an kepada para santri-santrinya. Cukup sederhana, beliau menyoroki hanya bertempat di kamar beliau sehabis jama'ah maghrib sampai lonceng sekolah malam berbunyi.
Hari-hari senantiasa beliau dilewati dengan berpuasa. Dan beliau juga seorang qona'ah, terbukti dengan makan beliau sedikit dan seadanya sesuai dengan yang disajikan oleh juru masak beliau. Sampai-sampai dalam akivitas sehari-seharinya, beliau memakai bengkungan di perut yang sangat kencang, dikarenakan sedikitnya makan, meski menurut beliau, ia sering juga diberi uang saku oleh keluarga
Satu hal lagi yang menunjukan ketekunan dan himmah beliau dalam tholabul ‘ilmi adalah meski beliau sudah menikah, tapi beliau tetap mukim di ponpes Lirboyo, sebab di samping untuk memperdalam ilmu tenaga dan fikiran, beliau masih diperlukan di sana. Ali Shodiq bahkan pernah menjadi kepala Ponpes Lirboyo, waktu itu. Hanya saja, jika memasuki bulan Ramadlan, beliau mengadakan pengajian pasan di Mbaran, Kediri, rumah mertua beliau.
Sekitar tahun 1958, pengajian pasan pertama yang diadakan di Mbaran diikuti oleh 7 orang santri Lirboyo. Dan pada tahun berikutnya, diikuti oleh 40 santri. Hal ini berlangsung selama beberapa tahun hingga tahun 1966. Selama itu pula, beliau telah menamatkan kitab Sirojut Tholibin buah karya K.H Ihsan Jampes, Kediri, yang merupakan guru beliau sendiri dan beberapa kitab kuning lain karya ulama terkenal lainya.
Ada fakta menarik, yaitu beliau, Ali Shodiq Umman, karena sangking sukanya akan ilmu dan baca kitab kuning, beliau pernah membaca kitab Muhadzdzab, yang khatamnya jatuh bertepatan pada tanggal 1 Syawal, pukul 1 siang.

Mendirikan Pondok Pesantren
Pada tahun 1967, Ali Shodiq Umman dengan berat hati pindah ke Ngunut, Tulungagung, meninggalkan Mbaran untuk mengemban amanat dan tugas dari guru beliau sewaktu nyantri di Lirboyo, yakni K.H Marzuqi Dahlan dan K.H Mahrus Ali. Waktu itu, guru beliau itu meminta agar Ali Shodiq mengembangkan ilmunya dan mendidik langsung masyarakat Ngunut yang waktu itu masih belum mengenal ajaran Islam (abangan).
Pada masa perintisan aktivitas dakwah, Ali Shodiq dipusatkan di sebuah langgar  (mushola.red) kecil yang telah didirikan Pak Tabut—Langgar  ini kemudian dijadikan pesantren Ngunut. Di samping itu, Ali Shodiq juga ikut mengajar di PGA Ngunut (sekarang berubah nama menjadi SMP Negeri 1 Ngunut).
Tantangan dan rintangan datang silih berganti, terutama dari masyarakat sekitar yang masih buta agama. Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik atau rohani (seperti jengges dan santet) tak henti-henti berdatangan. Tetapi dengan penuh kesabaran, beliau Ali Shodiq, tetap menyiarkan agama Allah.
Bukti kesabaran beliau terlintas dalam sebuah kejadian. Waktu itu, pesantren Ngunut sedang mengadakan sebuah acara. Acara itu dihadiri langsung oleh guru beliau, KH. Mahrus Ali Lirboyo. Kejadian itu bermula saat guru beliau, KH. Mahrus Ali, sedang berkenan ke kamar kecil. Ketika melintas, menuju ke kamar kecil, Mbah KH. Mahrus Ali melihat masyarakat di sekitar pesantren Ngunut banyak yang mengganggu acara tersebut. Mereka mengusik dengan santet, mengganggu jalannya pengajian para santri, lantas kemudian, Mbah KH. Mahrus Ali berkata.
“Mbok dihizib nashor wae, ben ndang bar.” (Sebaiknya di-hizib nashor—semacam didoa-wiridkan—agar mereka tidak mengganggu lagi).
Namun, apa jawab Ali Shodiq?...
“Ingkang kawulo rantos anak putu nipun, Yi" (Yang saya tunggu anak cucu mereka, Yai)
Dialog antara Ali Shodiq dengan gurunya, KH. Mahrus Ali, di atas membuktikan bahwa, Ali Shodiq ingin tetap memperjuangkan agama Allah. Meski banyak masyakarat di sekitarnya yang tidak suka dengan dakwah beliau, tapi beliau tetap sabar, mengunggu anak cucu masyakaratnya agar kelak, mau diajak masuk Islam.
Dengan diikuti 50 santri dari Lirboyo, pengajian pasan (pengajian pada bulan puasa) pertama di laksanakan dengan penuh hidmah (khusu’. red). Hingga 4 tahun kemudian beliau berhasil menamatkan kitab 'Ihya Ulumuddin buah karya Hujjatul Islam Imam Ghozali.
Pada bulan Syawal di tahun yang sama, pengajian sistem klasikal dan non klasikal mulai di terapkan, meski dengan materi pelajaran yang masih sangat sederhana—sesuai dengan kemampuan santri yang ada. Pada tahun berikutnya, jumlah santri di pesantren Ngunut bertambah, terutama santri senior Lirboyo dan dari daerah Ngunut dan sekitarnya. 
Melihat jumlah santri di pesantrennya kian hari semakin meningkat, maka K.H Ali Shodiq menetapkan tanggal 1 Januari 1967, bertepatan dengan tanggal 21 Rajab 1368 H, dijadikan sebagai hari berdirinya Pondok Pesantren HIDAYATUL MUBTADIIEN Ngunut, sebuah nama yang diambil dari Ponpes Lirboyo, dengan niat tafa'ulan (ngalap ketularan: biar tertular barokahnya.red). Sejak saat itulah, sistem pendidikan di Ponpes Hidayatul Mubtadiien ini mulai ditata dan bisa berjalan sampai sekarang.
Tingkatan pendidikan pun mulai ditata di pondok Mbah Ali—sebutan untuk pesantren Ngunut ini. Jenjang pendidikan di bagi menjadi dua tingkatan, ibtida'iyah  (dasar) dan tsanawiyah (menengah).
Waktu pun terus berjalan. Zaman semakin berkembang. Ilmu dan pengetahuan pun semakin canggih, namun di lain fihak dengan perkembangan ini, timbul pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakt. Untuk itu, dibutuhkan generesi Islam yang intelek dan berwawasan luas. Hal itu kemudian yang membuat KH. Ali Shodiq Umman disamping mengembangkan lembaga pendidikan agama yang sudah ada, beliau juga mendirikan pondok kanak-kanak dengan pendidikan formal Sekolah Dasar Islam (SDI) Sunan Giri berlokasi di Asrama Putri  dan Kanak-kanak Sunan Giri, Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) Sunan Gunung Jati berlokasi di Asrama Putra Sunan Gunung Jati (untuk santri laki-laki) dan Asrama Putri Sunan Pandanaran (untuk santri putri). Hingga akhirnya karena perkembangan IPTEK semakin pesat dan tak dapat dibendung, KH. Ali Shodiq Umman, dengan dibantu oleh para santri-santrinya, ikut mendirikan SMA Islam Sunan Gunung Jati. Langkah ini yang diambil K.H Ali Shodiq Umman ini lantas mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terbukti semakin banyak masyarakat yang menyekolahkan dan memondokkan putra-putrinya di lembaga yang di asuh oleh beliau ini. 
Begitulah perjuangan beliau yang tak kenal lelah, guna mempersiapkan generasi-generasi muslim yang menghadapi tantangan zaman. Bukan hanya pendidikan saja yang beliau perhatikan, namun dalam tuntunan hidup sehari-hari pun, beliau juga sering memberikan mau'idzoh hasanah, dengan tutur bahasa yang khas.
"Cho neng ngendi wae awakmu manggon, ojo lali karo pesenku: (1) Akhlaqul Karimah, (2) Pinter-Pinter Ndelehno Awak, (3) Ngekeh-Ngekehno Bali Mari Allah. Fafiru illallah…”
Pesan itu selalu beliau sampaikan setiap kali selesai mengaji kitab bersama santri-santrinya.
Beliau yang juga dikenal sangat sabar dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya, setiap pagi selalu dengan halus membangunkan santri-santi beliau. Dari satu kamar menuju ke kamar lainnya.
“Tangi cho, sholat jama'ah shubuh.”
Beliau paham betul bahwa, membina santri-santri adalah tugas moral untuk mengabdikan kepada masyakarat. Lebih-lebih untuk menekankan sholat jama'ah.

Sholat Jama'ah dengan Di Papah
Setelah menunaikan ibadah haji yang ke tiga kali, tahun 1997 kondisi kesehatan K.H Ali Shodiq Umman sering terganggu. Maklum, usia beliau mulai beranjak sepuh.
Sementara tugas sebagai pengasuh yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu tenaga dan fikiran beliau. Akan tetapi yang cukup menyedihkan kesehatan kyai mulai menurun, sehingga kaki beliau tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga untuk menjalankan tugas sehari-harinya: memberi pengajian, menjadi imam sholat jama'ah, beliau harus dipapah oleh satu atau dua orang santri.
Akan tetapi berkat kesabarannya, hari-hari beliau yang panjang itu dilalui dengan tabah, malahan beliau tidak pernah meninggalkan tugas yang beliau emban. Beliau tetap mengabdi untuk umat, tetap mengisi pengajian seperti biasa.

Sabtu Kelabu
Pada hari jum'at 23 Juli 1999, K.H Ali Shodiq Umman jatuh sakit. Cukup parah. Beliau kemudian dibawa ke RSI ORPEHA Tulungagung. Beliau dirawat di Pavilium Arafat. Perawatan intensif terus menerus dilakukan, namun keadaan pun tak semakin membaik. Akhirnya atas kesepakatan keluarga dan saran dari pihak kedokteran RSI ORPEHA, pada Rabu 10 Agustus 1999, beliau dibawa ke RS. DARMO Surabaya. Selama 4 hari beliau menjalani opname di rumah sakti Surabaya itu. Namun kondisi beliau pun tak kunjung membaik.
Perawatan pun tetap terus berjalan. Namun, harapan untuk kesembuhannya pun kian menipis, hingga pada hari Sabtu, 14 Agustus 1999, sekitar pukul 10.00 wib (pagi) Allah swt, telah menggariskan untuk memanggil beliau.
K.H Ali Shodiq Umman wafat. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un….
Beliau wafat pada usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang istri (yang pada akhirnya 7 bulan kemudian menyusul, 9 putra putri (6 pitra dan 3 putri), serta 12 cucu laki-laki dan perempuan.
Berita wafatnya K.H Ali Shodiq Umman diterima keluarga di Ngunut pukul 11.00 pagi lewat telfon. 30 menit kemudian, orang-orang yang melayat mulai berdatangan. Mereka menuggu kedatangan jenazah K.H Ali Shodiq Umman sambil berdzikir, jenazah tiba di Ngunut pukul 16.00 BBWI.
Keesokan harinya (Ahad) pukul 10.00 BBWI, setelah dilakukan sholat jenazah sebanyak 47 kali, lalu jenazah beliau dimakamkan di makam keluarga, sebelah barat Masjid Sunan Gunung Jati, asrama saya.
Sampai di liang lahat, jenazah beliau disambut oleh menantu beliau KH. Darori Mukmin, KH. Mahrus Maryani, dengan disertai putra beliau KH. Badrul Huda Ali, KH. Ibnu Shodiq Ali, KH. Minanurrohman Ali, serta KH. Minanurrohim Ali.
Jasad beliau pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya, menggoreskan kenangan, meninggalkan sebongkah jasa untuk kita, untuk saya, dan untuk santri-santrinya, beliau menuju alam damai dan abadi.


Daftar Anggota


NONAMA ANGGOTAALAMAT
1A. KamalurroziqinDomasan Kalidawir Tulungagung
2Abdulloh HamidWonorejo, Semanding, Pagu, Kediri
3Ahmad Anwar GhozaliNgadisoko, Durenan Trenggalek
4Ahmad Baehaqi WazniCirebon, Dawan, Tengahtani
5Ahmad MustofaTugu, Rejotangan, Tulungagung
6Ahmad Nur Hafidh FakihTrenceng, Sumbergempol, Tulungagung
7Andi PriyonoSrimulyo, Tapus, Madang Suku II OKU Timur
8Choirul FahmiTambak boyo, Sumber, Sanan Kulon, Blitar
9Danif Ghufron Ato'illahSukorejo Gandungsari Trenggalek
10Hasan Al - UbaidahBalesono, Ngunut, Tulungagung
11Imam FuadiPahang Asri BP. Peliung OKU Timur Sumsel
12Mohamad Agus SalmanJl Argowillis II RT 02/RW 6 Kracak Ledok Salatiga
13Mohamad SulkanDomasan Kalidawir Tulungagung
14Mu' tasim BillahJabalsari Sumbergempol Tulungaung
15Muh. Rosih FaqihaddinKalibening, RT/RW 01/03 Tingkir, Salatiga
16Muhamad Imam BadruddinApakbranjang, Pucanglaban, Tulungagung
17Mohamad Rifqi ArrosyidKacangan, Ngunut, Tulungagung
18Mohammad Sufyan SauriMojosari Kauman tulungagung
19Muhammad Sukri RohmatullohSukowiyono, Karangrejo, Tulungagung
20Muhammad Syarifuddin HidayatPandansari, Ngunut, Tulungagung
21Muhammad Zainul MubinKauman, Pringapus, Jateng
22Muhammad Zidni Nuron A'laNgadirejo Pogalan Trenggalek
23Nanang SetiawanKalibening,Tingkir,Salatiga
24Nurma Luqmanul ChakimKauman, Pringapus, Semarang, Jateng
25Tsalist Bahrul UlumTenggur, Rejotangan,Tulungagung
26Yulius Sukarno PutraJl. Blk Rumah Sakit Saiful Anwar Gang 7/no 9
27Abas Wahyu CandraWinong, Kalidawir, Tulungagung
28Amin AlmadaniKamulan Durenan Trenggalek
29Arif Nur WakhidJln. Ternate Rt 01/02 Klampok Sanan Wetan Blitar
30Asyrofi AzizDomasan Kalidawir Tulungagung
31Azizul MusliiminBanjarejo Rejotangan Tulungaung
32Depit HandokoKates Rejotangan Tulungagung
33Faisol AzizTawangsari, Garum, Blitar
34Fany Abdul RoufPogar Bangil Pasuruan
35Fatchur RoziKarangrejo Boyolangu Tulungagung
36Imam Safa'udinKaras Sidan Rembang
37Jaerodin Bendilwungu, Sumbergepol, Tulungagung
38Khairul AnamTawangrejo, Belitang, OKU Timur, Sum Sel
39M. Busyro AliBening, Jengglong, Sutojayan, Blitar
40M. Hafidz AsroriGilang Ngunut Tulungagung
41M. Huda MustafitSelopuro Blitar
42M. Ivan Kanzul FikriModangan RT01/02, Nglegok, Blitar
43Miftahul HudaSawentar Kanigoro Blitar
44Moh. Dliyaur RochimNglurung, Sendang, Tulungagung
45Muhammad Ali WafaMargomulyo RT03/03, Watulimo, Trenggalek
46Muhammad Ikhwanul HakimBalesono, Ngunut, Tulungagung
47Muhammad MubasirKrandegan, Wonorejo, Sumbergempol, Tulungagung
48Muhammad RizalNgadisuko Durenan Trenggalek
49Nur Rodhi SirriBendiljat Wetan, Sumbergempol, Tulungagung
50SyahrialMuaradua Peninjauan
51Frengky Eka LeksmanaGandusari-Trenggalek
52Ahmad Abdul Aziz A.Jengglungharjo-Tanggung Gunung-Tulungagung
53M. Agus Khafid AbdullohDs.Banyakan-Kediri
54M. Khomsin AhsanBacem-Sutojayan-Blitar
55M. Najib Bahir Gampeng Rejo-Kediri
56M.Saiful AnwarKamulan-Durenan-Trenggalek
57Muhammad Ali Fatih SirojudinNgadirenggo-Pogalan-Trenggalek
58Nasrul MudofiBendiljati-sumbergempol-tulungagung
59Ridwan Ibnu Wahid Waykenanga-Tulang bawang Barat
60Slamet RiadiKayuagung-OKI-Sumsel
61A. KhoiriPakisaji-Kalidawir-Tulungagung
62Arwani Ilyas Kedungwilut-Bandung-Tulungagung
63Kabib HidayatullohTambakrejo-Sumbergempol-Tulungagung
64M. Ali MustofaPandean-Durenan-Trenggalek
65M. Kamal ZidkiKudus
66Miftahul Nur FuaddinGarum-Blitar
67Moh. Zuhri HasbullohKamulan-Durenan-Trenggalek
68Muh. Syukron HamdaniKalibatur-Kalidawir-Tulungagung
69Muhammad Burhan MungafiPakis-Durenan-Trenggalek
70Muhammad MuhsinKalibening-tingkir-Salatiga
71Muhammad Priyo Budi UtomoPringapus-Ungaran-semarang
72Syafingi Bendilwungu-Sumbergempol-Tulungagung
73M. AdibSrimulyo-Oku Timur-Palembang-Sumsel
74M. BudimanSrimulyo-Palembang-Sumsel
75M. ZuhdiDs.Gunung Gangsir-Beji-Pasuruan
76Muhammad Irsyadun NufudTamansari-Wulunan-Jember
77Abdul RohmanKota Baru-Martapura-Oku Timur
78Abdul Mu'isMirigambar-Sumbergempol-Tulungagung
79Abdul Muta'allyCilamaya-Karawang-JaBar
80Ahmad khoirun nasikhinKedung Cangkring-Pagerwojo-T.Agung
81Ahmad Khotmut TamamiWuluhan -Jember
82Ahmad Nurul Sulkhi Palaran-Samarinda-Kaltim
83Fathur Rohman Contong Njungahan-Bandung-Tulungagung
84Hasanuddin HidayatullohPulosari-Ngunut-Tulungagung
85M. Khamim wahyudiPanjerejo-ejotangan-Tulungagung
86M. Nur MukhlisonKarangTaln-Kalidawer-Tulugagung
87M. Qoyyimuddin Pulosari-Ngunut-Tulungagung
88Muhamad Syuhada PrastyaSekampung-LampungTimur
89Mohamad Abdul Azis Sumberingin Kidul-Ngununt-Tulungagung
90Muhamad Tsani Riawan Sumber Rezeki-Sungai Lilin Muba
91Riadul Mutaib Pubian-Lampung Tengah
92Zainul Fuad Goran-Nglegok-Blitar
93Abdul Mujib BaidhowiKayu Agung-Palembang-Sumatra Selatan
94Achmad MabrurinBranggahan-Ngadiluweh-Kediri
95Fendi Sakti NugrohoSemarang -Jawa Tengah
96Ibnu Pitoyo Soko-Bandung-Tulungagung
97M. BahroniB.Agung-B.Sribawono-KalTim
98M. Hasan Basri Bumi Mulyo-Sekampung Udik-Lampung Timur
99M. Ibnu RizalSumberjo-Maspati-Magetan
100M. MudhofarRowosari-Salatiga
101M. RijalallohWainginsari Timur-Adiluweh-Pringsewu-Lampung
102Moh. Rizul Mustofa Bangle-Kanigoro-Blitar
103MiftahudinPringapus-Semarang-JaTeng
104Moh. Said Daroinimojo-Kediri
105Muhamad Ibnu Qosidil HaqqiIndragiri-Hilir-Riau
106Rizal FahmiPondok Petir-bojongsari-Depok
107Sugeng WidodoJoho-Kalidaer-Tulungagung
108Ahmad Najib Zainul W.Ds Sobontoro Kec Karas Kab Magetan
109Ahmad Ngainu RoziqinPakis-Durenan-Trenggalek
110Fuad Samsul HadiKarang Bendo Ponggok Blitar
111M. Said Al FattahGondang Tugu Trenggalek
112Muhamad Khoirul MunirDs Domasan Kec Kalidawer Tulungagung
113Muhammad Alif Imron R.Rowo Polo Rowosari Tuntang Semarang
114Muhammad Sirojul MuftiDs Tiudan Kec Gondang Kab Tulungagung
115Ridi SuwandiSungai Manang Oki Palembang Sum Sel
116Riesky Riza SyuhadaAryojeding Rejotangan Tulungagung
117Syamsul Anhar Sya'inSukorejo Gandosari Trenggalek
118Ahmad Azka FawaidDs Modangan Kec Nglegok Kab Blitar
119Ahmad Lathoiful Huda M.Ds Kalisuka Dukuhwaru Kab Tegal
120Haris Jauhar AlifiBalesono Kec Ngunut Tulungagung
121M. Niam FahmiBendorejo Pogalan Trenggalek
122Muchamad Ali MurtadhoTrenceng Sumbergempol Tulungagung
123Muchamad Barik AlmaksumDs Kromasan Kec Ngunut K Tulungagung
124Muchamad Nur KhanifanDs Tlogo Kec Kanigoro Kab Blitar
125Muh. Hamdan Fathur RohimDs Gilang Kec Ngunut Kab Tulungagung
126Muhammad Fauzi RidwanSalakkembang Kalidawer Tulungagung
127NgabdurohmanWonorejo Sumbergempol Tulungagung
128Rachmadani SancokoTanjung Tani Prambon Nganjuk
129Zainal FananiKamulan Durenan Trenggalek
130Zhafran MahfuzhPringapus Semarang Jawa Tengah
131M. Mukhlis HidayatullohDs Combang Garum Blitar
132Abdul RohmanTrenceng Sumbergempol Tulungagung
133Ahmad NgubaidillahJabalsari-Sumbergempol-Tulungagung
134Ahmad Usaidat TawwabiTambangan Ngadiluwih Kediri
135Ahmad Zakaria Rintik Babulu Penajang Pu
136Alfan KhoirBegadangjaya Sungaililin Musi Banyuasin
137Alfian FauziTulangbawangbarat Lampung
138Angga Bobby HanafiKalidawir Tulungagng
139Dwi Fajar MuftiMundubungur Karangrejo Tulungagung
140Fatkhur RokhimRamapuja Ramanutara Lam-Tim-Lampung
141Khoiril Ahmad TarmiziMrangin Jambi
142M. Ilham Nurul MusthofaSangetar Kanigoro Blitar
143M. Ngafifudin AshariWlingi Blitar
144Mohamad Khoirul NizamDomasan-Kalidawir-Tulungagung
145Muhammad Abdul RohmanRawa Makmur Samarinda Kaltim
146Muhammad Choirut TajuddinPakisaji Tugu Rejotangan Tulungagung
147Muhammad Puji HardiyantoRungkut Surabaya
148Muhammad Salis Arisna M.Tunggangri Kalidawir Tulungagung
149Muhammad ShofiyuddinKalibatur Kalidawir Tulungagung
150Muhammad VahrudinnafingiTasikmadu Watu Limo Trenggalek
151Satriyo Hutama PutraSranggahan Boyolangu Tulungagung
152Wahyu Bisri Mananta M.K.Sumbergempol Tulngagung
153Ade TryandaRawa Makmur Samarinda Kaltim
154Ahmad IfanudinTulangbawangbarat Lampung
155Alfim Syafa'uddin NiamiAwang Pakisaji Kalidawir Tulungagung
156Mohamad Arwani Ma'rufJatisari Kademangan Blitar
157Muh Maghfur FatoniKalibening Tingkir Salatiga Jateng
158Abdul RohimRatau Prasau Tanjung Jabung Timur
159Ahmad QusyairiPucang Anan Kebon Sari Madiun
160Ahmad SodikSrimulya Madang Suku 2 Oku Timur Sunsel
161Ahmad ZulkifliPrawajitu Tulang Bawang
162Amirul HakimKibang Yekti Jaya Lambu Kibang
163Anas MalikiKaranganom Durenan Trenggalek
164Andik Rifa'iNgobalan Kalidawer Tulungagung
165As'ad Syamsul ArifinKali Bator Kalidawer
166Dwi Anggih RahmawanSuko Rame Gandu Sari Tulungagung
167Imron RusadiBlam Jaya Way Kenangan Tulang Bawang
168Irfan Zainur RohmanTanggul Kundung Besuki Tulungagung
169Ja'far Abdul LatiefPring Apus Semarang
170Jimmy Fabian SukmaAryo Jeding Rejotangan
171MaksumSidorejo Muara Padang
172Mochamad Darul AnshoriTenggong Rejotangan
173Moh. Aziz NurdiansahBuntaran Rejotangan
174Mohammad Afnan HafiyBalesono Ngunut Tulungagung
175Much. Ibnu Thoyyib MuzakkiAryo Jeding Rejotangan
176Muhamat MufitSrimulya Madang Suku 2 Oku Timur Sunsel
177Muhammad Fahrisqi FadhilahSumberejo Durenan
178Muhammad Habib MustofaSalak Kembang Kalidawer
179Muhammad Habibi NursalimJabalsari Sumbergempol
180Muhammad MuhdorPager Sari Kalidawer
181MukorobinEmbun Sari Pemajung Jambi
182Niwang Ali MuchsonPangung Kuning Pucang Labang
183Wahyu Hendra WiranataKalidawe Pucang Laban Tulungagung
184
185