Ulama
asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja
kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul”
Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah
salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan
padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya
tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan
penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur
kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut , karena kata
pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan
di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan ( ulama timur tengah ). Kitab
Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya
Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama
Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan
negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa
majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech
Ihsan Jampes tersebut?? KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama
yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil
dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa
timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton
wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya
adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir
bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti
melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum
juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri
Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang
juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat
kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja
putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa
mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di
datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat
besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku
kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan
lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya
kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech
Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala
Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari
tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang
sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan
menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren
ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama
ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil
Madura. Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah
tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan
untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi
ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama
ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis
sekitar 1932-33 sebagai syarah atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam
membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar
langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas
dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran
tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam
kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai
pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan
lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang
disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud
diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan
mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta,
namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali. ”Jadi zuhud adalah tapa dunia
tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam
menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan
sendiri adalah Ulama yang kaya raya,” Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin
adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata
Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah
kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris
seribu halaman, dibagi dalam dua juz. Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah
menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang
merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya
lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa
wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi
dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun
kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab
sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang
tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul
Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para
hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari ( lombok ) . Kitab setebal 118 halaman
itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang
terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda
dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan
pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan)
melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya
di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau
yang tinggal di semarang. Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan
dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang
saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
KH. Ihsan Muhammad Dahlan
Ditulis Oleh Unknown on Sabtu, 08 November 2014 | 09.05
Pondok Tremas Pacitan
Setelah
Bagus Darso (nama kecil KH. Abdul Manan) menyelesaikan pelajarannya di Pondok
Tegalsari Ponorogo, beliau lantas mendirikan pondok di daerah Semanten [2km
arah utara kota Pacitan], Namun dikemudian hari pondok tersebut akhirnya
dipindah ke Tremas.
Usaha
pertama kali yang dilakukan untuk membangun tempat pengajian sudah barang tentu
mendirikan sebuah masjid (terletak agak ke sebelah timur dari masjid yang
sekarang). Dan setelah santri-santri dari jauh yang sebagian berasal dari bekas
santri-santrinya di Semanten mulai berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama
pondok di sebelah selatan masjid. Sudah barang tentu keadaan masjid dan asrama
pondok pada waktu itu masih sangat sederhana sekali, atapnya masih menggunakan
daun ilalang dan kerangka lainnya masih banyak yang menggunakan bahan dari
bambu.
Perkembangan
Pondok Tremas pada masa itu sumber dananya diperoleh dari mertuanya, yaitu
Demang Tremas Raden Ngabehi Honggowijoyo, karena membangun pondok adalah memang
merupakan tujuan utama dari Raden Ngabehi Honggowijoyo untuk mengambil Bagus
Darso sebagai menantu.
Demikianlah
sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul
Manan pada tahun 1830 M
Pondok Lirboyo
Kediri mendapat julukan
"kota santri", karena saking banyaknya pondok pesantren yang ada di
daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang terkenal dan terbesar adalah
Pondok Pesantren Lirboyo. Berikut ini sekelumit sejarah Pondok Pesantren
Lirboyo yang kini telah berusia satu abad lebih.
Lirboyo adalah nama sebuah desa
yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah
telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan
Pondok Pesantren Lirboyo. Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh
Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah
satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang yang Alim berasal
dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok
Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim
menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama
beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh),
putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke
desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada
waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan
menetapnya KH. Abdul Karim di
Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas
permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan
menempatkan alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo.
Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan
menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Betul juga, harapan kepala desa
menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di
Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo
tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang
langgang
Tiga puluh lima hari setelah
menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.
Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah yang bernama
Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim
di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim,
karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama.
Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada
Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu
ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal
KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama
kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya
berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri
ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru
dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di
sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya
aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor.
Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang
ke kampung halamannya.
Tahun demi tahun, Pondok
Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah
santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul
ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang
dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas
ronda keliling disekitar pondok.
Berdirinya Masjid Pondok
Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang
tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat
ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek
sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang
aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat
kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal mula berdirinya masjid di
Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari
banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum
dianggap sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah
berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah
gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana
sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah
beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami
kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin
beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar
KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang
telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh
KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan
bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub
yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH.
Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam
pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan
KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid
dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu
diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928
M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim
yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak
terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan
mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari
batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya
arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk
mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa
KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip
kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah
bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai
akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian
diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya
dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini
dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M.
ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan
cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan
lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus
berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama'ah
sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum.
Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan
melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak
mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun
dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.
PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO
DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak
zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren
yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini
dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah
dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para
Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh
Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar
Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang
mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim
Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan
daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa
santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan
Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal
yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo.
Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama
dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu
sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu
tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok
Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri
sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di
tingkat pusatnya.
Pada masa itu adalah merupakan
masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman
penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu.
Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam
merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan
dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah
tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan
hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari
Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri
Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.
Pelucutan Senjata Kompitai Dai
Nippon
Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang
mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia itu
kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan
diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata
Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan
dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .
Tepat pada jam 22.00 berangkatlah
santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus
Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai,
santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun
menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu
adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan
dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor
Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan
berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan
Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam
penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan
fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun
kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya
sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi
tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya
kemerdekaan, tiba-tiba ada
sekutu yang di”bonceng” Belanda
yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung
Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan
pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka
disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia.
Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul
Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU
yang ada di Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU
jalan Bubutan Surabaya.
Tujuan pertemuan itu adalah
membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan
Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu.
Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang
melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan
inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata
ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo.
Tidak lama setelah itu, tepatnya
pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat
di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28
Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas
mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai
Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang
berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda
Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945,
hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45
tahun.
Dalam situasi demikian itu, Mayor
Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa
Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita
pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali
mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini
disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh
untuk dikirim ke Surabaya.
Dengan mengendarai truk , para
santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya
bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi
musuh. Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri.
KH Kholil Bangkalan Madura
Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H
atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa
Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura,
Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari
rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama
Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian
hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani
telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon
kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH.
Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul
Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini
adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin
Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah
kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan
Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil
kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama
ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik
Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk
memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya,
maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk
menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika
usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur
di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke
Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren
Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada
Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur
Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer.
Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang
terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari
Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini
dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri
selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi
dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya
berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa
ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang
mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di
Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh
batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya
sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa
matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu
beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam
Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia
berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke
Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali
ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi
meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari
jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di
Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang
cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi
“buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah
2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan,
Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan
pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah
Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun,
Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah
Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang
benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama
nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah
Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka
menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar
perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di
Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama
Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin
Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad
Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad
hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin
Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu
itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para
Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun
kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan.
Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para
Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan
kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi
teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain:
Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh
Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan
sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar
dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama
yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama
dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang
dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab
yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul
ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan
Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon.
Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa,
Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan
untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren
di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai
ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan
pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya
mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat
Laut dari desa kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai
tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan
Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang
dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz
(hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah
pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa
sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan
keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu
kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren
lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah
Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya
selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh
santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang
Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim
Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli
Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang
“waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal
yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran
Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal
luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada
siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van
Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar
kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat
tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan
terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan
perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam
bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin
yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama
maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang
lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri
Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara
terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini
tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan
batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya
dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap
dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil,
malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa
mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka
harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin
menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta
ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan
sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar
bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam
dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam
suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen
memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk
agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang
telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan
perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok
pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda
karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di
pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya
yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah
mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol
dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim
Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul
Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras,
Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH.
Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali
Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad
Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna”
yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di
Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang
dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti
Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa
berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul
Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada
seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya
membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah
ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah
Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung
beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau
menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada
seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi
pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan
nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap
beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini
tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh
Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu
guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa.
Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh,
padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh.
Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan
penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia
dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan
istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang
dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi
bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai
penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil,
muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata:
“Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan
dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus
mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh.
Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering
mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling.
Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi.
Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya
di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan
kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab
tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah
Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya:
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu
dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada
memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai
pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta
Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma
zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan
tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para
petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban
penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi
ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di
hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka
tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan
dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak
bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua
maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin
lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka
diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah
Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan
maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri
itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini
menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan
menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka
menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak
itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di
seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu,
satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal
dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak,
tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya
akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya
tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar
untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya
anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur
itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya.
Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi
semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk
termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang
laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada
Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya
dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana,
bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar
di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu
kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang
malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut
dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya
mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini
bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di
pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya
dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang
menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah
Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya,
Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya
bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan
sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun
yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya
sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu
rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan
patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa
terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan.
Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi,
dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu
ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan
senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang
dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang
dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah
Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia
baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar
biasa.
Biografi KH.Ali Shodiq Umman
Ditulis Oleh Unknown on Rabu, 05 November 2014 | 23.50
Ali Shodiq, demikian
nama aslinya. Lahir sekitar tahun 1929 M di dusun Gentengan lingkungan IV
kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.Ali Shodiq waktu itu lahir
dan tinggal bersama masyarakat Ngunut yang sangat minim akan pengetahuan agama.
Boleh dibilang, karena sangking tidak mengertinya tentang agama,
biasa disebut dengan istilah masyarakat abangan.
Ayah Ali Shodiq
bernama Pak Uman. Ia adalah kusir dokar yang hidup sederhana dan taat
beribadah. Ibu Ali Shodiq bernama Bu Marci. Pasangan suami istri ini datang
dari daerah beranama Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Mereka berdua sangat mendambakan seorang anak yang 'alim 'allamah dalam
hal agama. Sehingga, Pak Uman pun, sangat senang dan hormat pada setiap kyai
dan santri yang ia temui. Setiap kali ada santri yang menumpang dokar beliau,
beliau siap mengantarkannya kemanapun santri itu pergi, tanpa memungut upah
darinya.
Diasuh Paman Dari
Ibu
Ali Shodiq adalah
anak ke-7 dari 18 bersaudara. Namun yang hidup hingga dewasa adalah 10 orang.
Masing-masing adalah Intiamah, M. Syarif, Markatam, Abdul Syukur, Abdul Ghoni,
Umi Sulkah, Ali Shodiq, Amini, Khoirul Anam dan Marzuki. Sedang, yang 8 lainnya
wafat ketika masih kecil sehingga tidak jelas namanya.
Sejak umur sepasar (lima
hari), Ali Shodiq diasuh oleh paman beliau. Namaya Pak Tabut. Pak Tabut ini
merupakan masih adik dari Ibu Marci. Pak Tabut adalah seorang pedagang batik
dan pemborong palawija yang cukup mapan perekonomiannya. Beliau tinggal bersama
istrinya, Ibu Urip, dari Olak Alung, nama salah satu daerah di Ngunut, yang
konon dulu, daerah ini merupakan daerah basis PKI (Partai Komunis Indonesia),
tepatnya di jalan raya 1 No. 34 Ngunut, yang sekarang menjadi Pondok Pesantren
Hidayatul Mubtadiien Ngunut (PPHM-Ngunut) pusat.
Ali Shodiq sangat
disayang oleh Pak Tabut dan istrinya, Ibu Urip. Kebetulan, pasangan suami istri
ini tidak di karuniai seorang anakpun. Dalam momongan Pak Tabut pun, Ali Shodiq
hidup dalam kecukupan. Segala keinginan terpenuhi. Sejak itu pulalah, beliau
sangat suka dengan kuda. Namun, di balik itu semua, beliau, Ali Shodiq, yang
masih muda merasa prihatin dengan keadaan/kondisi masyarakat sekitar Ngunut
yang dalam pola hidupnya jauh dari nilai-nilai agama.
Hingga sejak kecil,
beliau Ali Shodiq, mulai belajar mengeja huruf-huruf Al Qur'an dan
cara-cara beribadah kepada Bapak Mahbub, di desa Kauman, Ngunut.
Setelah menamatkan
sekolah rakyat—dahulu tidak ada SD—Ali Shodiq kemudian mulai “mengembara” ilmu
dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Jika dihitung-hitung, pengembaraan
mencari ilmu beliau, kurang lebih selama 26 tahun. Di awali dari Pondok
Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Beliau di sini tidak begitu lama, kemudian
beliau nyantri ke Pondok Pesantren Jampes, Kediri, yang waktu itu diasuh oleh K.H.
Ihsan Dahlan.*
Sepeninggal Mbah Yai
Ihsan, Ali Shodiq kemudian pindah ke pesantren Lirboyo (PP Hidayatul
Mubtadiien), Kediri. Untuk bulan puasa, Ali Shodiq sering mondok di Pesantren
Treteg, Pare, Kediri, yang diasuh oleh K.H Juwaini dan pernah juga ke Pesantren
Mojosari, Nganjuk, asuhan K.H Zainuddin. Ali Shodiq juga pernah tabarukan(alap
berkah: mencari berkah karena dan untuk Allah kepada ulama’ / wali sepuh) ke
Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Asuhan romo K.H Hasyim Asy’ari (Salah
Satu Pendiri NU—Nahdlatul Ulama’) dan pada K.H Ma'ruf , Kedoglo, Kediri.
Sewaktu beliau, Ali
Shodiq, masih nyantri di Pesantren Jampes, Kediri, beliau meminta kepada ibu
angkat beliau, Mbah Urip, untuk mendirikan sebuah langgar (mushola.red)
kecil di rumahnya, yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya
Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut (PPHM-Ngunut).
Dari Lirboyo
Menuju ke Pelaminan
Menurut Mbah K.H
Ihsan (Pengasuh Pondok Pesantren Abul Faidl, Bakalan, Wonodadi, Blitar) setelah
K.H Ihsan Jampes wafat sekitar tahun 1952, Ali Shodiq pindah ke Pesantren
Lirboyo yang waktu itu masih diasuh oleh K.H Abdul Karim. Waktu Ali Shodiq
mondok di sinilah, ada peristiwa yang penting, yakni sekitar tahun 1958, ada
seorang Kyai dari Mbaran, Kediri, K.H Umar Sufyan yang mencari beliau untuk
dinikahkan.
Ali Shodiq waktu
itu, karena sami’na wa ‘atho’na dengan guru, beliau mau saja untuk
dijodohkan. Tak disangka, rupanya beliau dijodohkan oleh putri kandung dari KH.
Umar Sufyan sendiri, yakni Auliyah (setelah ibadah haji di ganti menjadi
Hj.Siti Fatimatuzzahro'). Padahal, Auliyah ini, waktu itu masih berumur 7
tahun. Namun, akad nikahpun akhirnya tetap dilaksanakan secara sederhana.
Hari bahagia nan
penuh berkah, akad nikah seorang calon kyai dengan putri seorang kyai pun
berlangsung jua. Dengan diantar beberapa santri Lirboyo, beliau berangkat dari
Pondok Pesantren (ponpes) Lirboyo menuju Mbaran, Kediri.
Ali Shodiq,
Santri Yang Tekun
Di mata kawan sesama
santri, termasuk KH. Mushtofa Bisri (Gus Mus), Ali Shodiq muda dikenal sebagai
santri yang tekun, cerdas dan sangat ta'dzim (hormat) kepada
guru-guru beliau. Hingga beliau menjadi Kyai kharismatik di wilayah Tulungagung
pun, beliau masih ta'dzim kepada dzuhrriyah (keluarga.red)
guru-gurunya. Meski mereka sudah berada di alam kubur, namun Ali Shodiq bahkan
ketika sowan-ziyarah ke makam guru-guru beliau pun, selalu melepas sandal dan
berjalan jongkok.
Ali Shodiq juga
dikenal ketika setiap kali mbalah (mengaji kitab.red) selalu mencari waktu yang
tidak bersamaan dengan qori' atau pengkaji yang lain, yaitu di atas jam 12.00
malam. Bertempat di panggung lama atau di Al-Ikhwan (nama tempat. red). Beliau
tahu betul, jika pengajian dilakukan secara bersamaan, maka qori’ yang lain
akan sepi pengikut.
Ali Shodiq juga di
kenal sebagai Ahli Tahqiq, sebab setiap kali akan mbalah, jika belum memahami
apa yang akan dikaji, beliau tidak jadi melakukan dan menunggu sampai faham
betul terhadap hal-hal yang akan dikaji oleh beliau tersebut. Juga, beliau
sering mengikuti satu kitab secara berulang-ulang, dengan setiap ikut kitabnya
selalu baru.
Menurut Pak Ghufron,
salah seorang teman sekaligus santri beliau, ketekunan Ali Shodiq ini sulit
digambarkan, sehingga tidak pernah diketahui kapan beliau tidur. Seakan-akan
waktu hanya dicurahkan untuk mathala'ah (belajar.red) yang bahkan beliau
sering ketiduran dalam keadaan mathala'ah tersebut.
Kesibukan Ali Shodiq
selain mbalah, beliau juga menyoroki (mengajarkan membaca.red) Al Qur'an kepada
para santri-santrinya. Cukup sederhana, beliau menyoroki hanya bertempat di
kamar beliau sehabis jama'ah maghrib sampai lonceng sekolah malam berbunyi.
Hari-hari senantiasa
beliau dilewati dengan berpuasa. Dan beliau juga seorang qona'ah, terbukti
dengan makan beliau sedikit dan seadanya sesuai dengan yang disajikan oleh juru
masak beliau. Sampai-sampai dalam akivitas sehari-seharinya, beliau memakai bengkungan
di perut yang sangat kencang, dikarenakan sedikitnya makan, meski menurut
beliau, ia sering juga diberi uang saku oleh keluarga
Satu hal lagi yang
menunjukan ketekunan dan himmah beliau dalam tholabul ‘ilmi adalah meski beliau
sudah menikah, tapi beliau tetap mukim di ponpes Lirboyo, sebab di samping
untuk memperdalam ilmu tenaga dan fikiran, beliau masih diperlukan di sana. Ali
Shodiq bahkan pernah menjadi kepala Ponpes Lirboyo, waktu itu. Hanya saja, jika
memasuki bulan Ramadlan, beliau mengadakan pengajian pasan di Mbaran, Kediri,
rumah mertua beliau.
Sekitar tahun 1958,
pengajian pasan pertama yang diadakan di Mbaran diikuti oleh 7 orang santri
Lirboyo. Dan pada tahun berikutnya, diikuti oleh 40 santri. Hal ini berlangsung
selama beberapa tahun hingga tahun 1966. Selama itu pula, beliau telah
menamatkan kitab Sirojut Tholibin buah karya K.H Ihsan Jampes, Kediri, yang
merupakan guru beliau sendiri dan beberapa kitab kuning lain karya ulama
terkenal lainya.
Ada fakta menarik,
yaitu beliau, Ali Shodiq Umman, karena sangking sukanya akan ilmu dan baca
kitab kuning, beliau pernah membaca kitab Muhadzdzab, yang khatamnya jatuh
bertepatan pada tanggal 1 Syawal, pukul 1 siang.
Mendirikan Pondok
Pesantren
Pada tahun 1967, Ali
Shodiq Umman dengan berat hati pindah ke Ngunut, Tulungagung, meninggalkan
Mbaran untuk mengemban amanat dan tugas dari guru beliau sewaktu nyantri di
Lirboyo, yakni K.H Marzuqi Dahlan dan K.H Mahrus Ali. Waktu itu, guru beliau
itu meminta agar Ali Shodiq mengembangkan ilmunya dan mendidik langsung
masyarakat Ngunut yang waktu itu masih belum mengenal ajaran Islam (abangan).
Pada masa perintisan
aktivitas dakwah, Ali Shodiq dipusatkan di sebuah langgar (mushola.red)
kecil yang telah didirikan Pak Tabut—Langgar ini kemudian dijadikan
pesantren Ngunut. Di samping itu, Ali Shodiq juga ikut mengajar di PGA Ngunut
(sekarang berubah nama menjadi SMP Negeri 1 Ngunut).
Tantangan dan
rintangan datang silih berganti, terutama dari masyarakat sekitar yang masih
buta agama. Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik atau rohani (seperti
jengges dan santet) tak henti-henti berdatangan. Tetapi dengan penuh kesabaran,
beliau Ali Shodiq, tetap menyiarkan agama Allah.
Bukti kesabaran
beliau terlintas dalam sebuah kejadian. Waktu itu, pesantren Ngunut sedang
mengadakan sebuah acara. Acara itu dihadiri langsung oleh guru beliau, KH.
Mahrus Ali Lirboyo. Kejadian itu bermula saat guru beliau, KH. Mahrus Ali,
sedang berkenan ke kamar kecil. Ketika melintas, menuju ke kamar kecil, Mbah
KH. Mahrus Ali melihat masyarakat di sekitar pesantren Ngunut banyak yang
mengganggu acara tersebut. Mereka mengusik dengan santet, mengganggu jalannya
pengajian para santri, lantas kemudian, Mbah KH. Mahrus Ali berkata.
“Mbok dihizib nashor
wae, ben ndang bar.” (Sebaiknya di-hizib nashor—semacam didoa-wiridkan—agar
mereka tidak mengganggu lagi).
Namun, apa jawab Ali
Shodiq?...
“Ingkang kawulo
rantos anak putu nipun, Yi" (Yang saya tunggu anak cucu mereka, Yai)
Dialog antara Ali
Shodiq dengan gurunya, KH. Mahrus Ali, di atas membuktikan bahwa, Ali Shodiq
ingin tetap memperjuangkan agama Allah. Meski banyak masyakarat di sekitarnya
yang tidak suka dengan dakwah beliau, tapi beliau tetap sabar, mengunggu anak
cucu masyakaratnya agar kelak, mau diajak masuk Islam.
Dengan diikuti 50
santri dari Lirboyo, pengajian pasan (pengajian pada bulan puasa) pertama di
laksanakan dengan penuh hidmah (khusu’. red). Hingga 4 tahun kemudian beliau
berhasil menamatkan kitab 'Ihya Ulumuddin buah karya Hujjatul Islam
Imam Ghozali.
Pada bulan Syawal di
tahun yang sama, pengajian sistem klasikal dan non klasikal mulai di terapkan,
meski dengan materi pelajaran yang masih sangat sederhana—sesuai dengan
kemampuan santri yang ada. Pada tahun berikutnya, jumlah santri di pesantren
Ngunut bertambah, terutama santri senior Lirboyo dan dari daerah Ngunut dan
sekitarnya.
Melihat jumlah
santri di pesantrennya kian hari semakin meningkat, maka K.H Ali Shodiq
menetapkan tanggal 1 Januari 1967, bertepatan dengan tanggal 21 Rajab 1368 H,
dijadikan sebagai hari berdirinya Pondok Pesantren HIDAYATUL MUBTADIIEN Ngunut,
sebuah nama yang diambil dari Ponpes Lirboyo, dengan niat tafa'ulan (ngalap
ketularan: biar tertular barokahnya.red). Sejak saat itulah, sistem pendidikan
di Ponpes Hidayatul Mubtadiien ini mulai ditata dan bisa berjalan sampai
sekarang.
Tingkatan pendidikan
pun mulai ditata di pondok Mbah Ali—sebutan untuk pesantren Ngunut ini. Jenjang
pendidikan di bagi menjadi dua tingkatan, ibtida'iyah (dasar) dan
tsanawiyah (menengah).
Waktu pun terus
berjalan. Zaman semakin berkembang. Ilmu dan pengetahuan pun semakin canggih,
namun di lain fihak dengan perkembangan ini, timbul pergeseran nilai dalam
kehidupan masyarakt. Untuk itu, dibutuhkan generesi Islam yang intelek dan
berwawasan luas. Hal itu kemudian yang membuat KH. Ali Shodiq Umman disamping
mengembangkan lembaga pendidikan agama yang sudah ada, beliau juga mendirikan
pondok kanak-kanak dengan pendidikan formal Sekolah Dasar Islam (SDI) Sunan
Giri berlokasi di Asrama Putri dan Kanak-kanak Sunan Giri, Sekolah
Menengah Pertama Islam (SMPI) Sunan Gunung Jati berlokasi di Asrama Putra Sunan
Gunung Jati (untuk santri laki-laki) dan Asrama Putri Sunan Pandanaran (untuk
santri putri). Hingga akhirnya karena perkembangan IPTEK semakin pesat dan tak
dapat dibendung, KH. Ali Shodiq Umman, dengan dibantu oleh para
santri-santrinya, ikut mendirikan SMA Islam Sunan Gunung Jati. Langkah ini yang
diambil K.H Ali Shodiq Umman ini lantas mendapat sambutan hangat dari
masyarakat. Terbukti semakin banyak masyarakat yang menyekolahkan dan
memondokkan putra-putrinya di lembaga yang di asuh oleh beliau ini.
Begitulah perjuangan
beliau yang tak kenal lelah, guna mempersiapkan generasi-generasi muslim yang
menghadapi tantangan zaman. Bukan hanya pendidikan saja yang beliau perhatikan,
namun dalam tuntunan hidup sehari-hari pun, beliau juga sering memberikan
mau'idzoh hasanah, dengan tutur bahasa yang khas.
"Cho neng
ngendi wae awakmu manggon, ojo lali karo pesenku: (1) Akhlaqul Karimah, (2)
Pinter-Pinter Ndelehno Awak, (3) Ngekeh-Ngekehno Bali Mari Allah. Fafiru
illallah…”
Pesan itu selalu
beliau sampaikan setiap kali selesai mengaji kitab bersama santri-santrinya.
Beliau yang juga
dikenal sangat sabar dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya, setiap pagi
selalu dengan halus membangunkan santri-santi beliau. Dari satu kamar menuju ke
kamar lainnya.
“Tangi cho, sholat
jama'ah shubuh.”
Beliau paham betul
bahwa, membina santri-santri adalah tugas moral untuk mengabdikan kepada
masyakarat. Lebih-lebih untuk menekankan sholat jama'ah.
Sholat Jama'ah
dengan Di Papah
Setelah menunaikan
ibadah haji yang ke tiga kali, tahun 1997 kondisi kesehatan K.H Ali Shodiq
Umman sering terganggu. Maklum, usia beliau mulai beranjak sepuh.
Sementara tugas
sebagai pengasuh yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu tenaga dan
fikiran beliau. Akan tetapi yang cukup menyedihkan kesehatan kyai mulai
menurun, sehingga kaki beliau tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga
untuk menjalankan tugas sehari-harinya: memberi pengajian, menjadi imam sholat
jama'ah, beliau harus dipapah oleh satu atau dua orang santri.
Akan tetapi berkat
kesabarannya, hari-hari beliau yang panjang itu dilalui dengan tabah, malahan
beliau tidak pernah meninggalkan tugas yang beliau emban. Beliau tetap mengabdi
untuk umat, tetap mengisi pengajian seperti biasa.
Sabtu Kelabu
Pada hari jum'at 23
Juli 1999, K.H Ali Shodiq Umman jatuh sakit. Cukup parah. Beliau kemudian
dibawa ke RSI ORPEHA Tulungagung. Beliau dirawat di Pavilium Arafat. Perawatan
intensif terus menerus dilakukan, namun keadaan pun tak semakin membaik.
Akhirnya atas kesepakatan keluarga dan saran dari pihak kedokteran RSI ORPEHA,
pada Rabu 10 Agustus 1999, beliau dibawa ke RS. DARMO Surabaya. Selama 4 hari
beliau menjalani opname di rumah sakti Surabaya itu. Namun kondisi beliau pun
tak kunjung membaik.
Perawatan pun tetap
terus berjalan. Namun, harapan untuk kesembuhannya pun kian menipis, hingga
pada hari Sabtu, 14 Agustus 1999, sekitar pukul 10.00 wib (pagi) Allah swt,
telah menggariskan untuk memanggil beliau.
K.H Ali Shodiq Umman
wafat. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un….
Beliau wafat pada
usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang istri (yang pada akhirnya 7 bulan
kemudian menyusul, 9 putra putri (6 pitra dan 3 putri), serta 12 cucu laki-laki
dan perempuan.
Berita wafatnya K.H
Ali Shodiq Umman diterima keluarga di Ngunut pukul 11.00 pagi lewat telfon. 30
menit kemudian, orang-orang yang melayat mulai berdatangan. Mereka menuggu
kedatangan jenazah K.H Ali Shodiq Umman sambil berdzikir, jenazah tiba di
Ngunut pukul 16.00 BBWI.
Keesokan harinya
(Ahad) pukul 10.00 BBWI, setelah dilakukan sholat jenazah sebanyak 47 kali,
lalu jenazah beliau dimakamkan di makam keluarga, sebelah barat Masjid Sunan
Gunung Jati, asrama saya.
Sampai di liang
lahat, jenazah beliau disambut oleh menantu beliau KH. Darori Mukmin, KH.
Mahrus Maryani, dengan disertai putra beliau KH. Badrul Huda Ali, KH. Ibnu
Shodiq Ali, KH. Minanurrohman Ali, serta KH. Minanurrohim Ali.
Jasad beliau pergi
meninggalkan kita untuk selama-lamanya, menggoreskan kenangan, meninggalkan sebongkah
jasa untuk kita, untuk saya, dan untuk santri-santrinya, beliau menuju alam
damai dan abadi.
Daftar Anggota
NO | NAMA ANGGOTA | ALAMAT |
---|---|---|
1 | A. Kamalurroziqin | Domasan Kalidawir Tulungagung |
2 | Abdulloh Hamid | Wonorejo, Semanding, Pagu, Kediri |
3 | Ahmad Anwar Ghozali | Ngadisoko, Durenan Trenggalek |
4 | Ahmad Baehaqi Wazni | Cirebon, Dawan, Tengahtani |
5 | Ahmad Mustofa | Tugu, Rejotangan, Tulungagung |
6 | Ahmad Nur Hafidh Fakih | Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung |
7 | Andi Priyono | Srimulyo, Tapus, Madang Suku II OKU Timur |
8 | Choirul Fahmi | Tambak boyo, Sumber, Sanan Kulon, Blitar |
9 | Danif Ghufron Ato'illah | Sukorejo Gandungsari Trenggalek |
10 | Hasan Al - Ubaidah | Balesono, Ngunut, Tulungagung |
11 | Imam Fuadi | Pahang Asri BP. Peliung OKU Timur Sumsel |
12 | Mohamad Agus Salman | Jl Argowillis II RT 02/RW 6 Kracak Ledok Salatiga |
13 | Mohamad Sulkan | Domasan Kalidawir Tulungagung |
14 | Mu' tasim Billah | Jabalsari Sumbergempol Tulungaung |
15 | Muh. Rosih Faqihaddin | Kalibening, RT/RW 01/03 Tingkir, Salatiga |
16 | Muhamad Imam Badruddin | Apakbranjang, Pucanglaban, Tulungagung |
17 | Mohamad Rifqi Arrosyid | Kacangan, Ngunut, Tulungagung |
18 | Mohammad Sufyan Sauri | Mojosari Kauman tulungagung |
19 | Muhammad Sukri Rohmatulloh | Sukowiyono, Karangrejo, Tulungagung |
20 | Muhammad Syarifuddin Hidayat | Pandansari, Ngunut, Tulungagung |
21 | Muhammad Zainul Mubin | Kauman, Pringapus, Jateng |
22 | Muhammad Zidni Nuron A'la | Ngadirejo Pogalan Trenggalek |
23 | Nanang Setiawan | Kalibening,Tingkir,Salatiga |
24 | Nurma Luqmanul Chakim | Kauman, Pringapus, Semarang, Jateng |
25 | Tsalist Bahrul Ulum | Tenggur, Rejotangan,Tulungagung |
26 | Yulius Sukarno Putra | Jl. Blk Rumah Sakit Saiful Anwar Gang 7/no 9 |
27 | Abas Wahyu Candra | Winong, Kalidawir, Tulungagung |
28 | Amin Almadani | Kamulan Durenan Trenggalek |
29 | Arif Nur Wakhid | Jln. Ternate Rt 01/02 Klampok Sanan Wetan Blitar |
30 | Asyrofi Aziz | Domasan Kalidawir Tulungagung |
31 | Azizul Musliimin | Banjarejo Rejotangan Tulungaung |
32 | Depit Handoko | Kates Rejotangan Tulungagung |
33 | Faisol Aziz | Tawangsari, Garum, Blitar |
34 | Fany Abdul Rouf | Pogar Bangil Pasuruan |
35 | Fatchur Rozi | Karangrejo Boyolangu Tulungagung |
36 | Imam Safa'udin | Karas Sidan Rembang |
37 | Jaerodin | Bendilwungu, Sumbergepol, Tulungagung |
38 | Khairul Anam | Tawangrejo, Belitang, OKU Timur, Sum Sel |
39 | M. Busyro Ali | Bening, Jengglong, Sutojayan, Blitar |
40 | M. Hafidz Asrori | Gilang Ngunut Tulungagung |
41 | M. Huda Mustafit | Selopuro Blitar |
42 | M. Ivan Kanzul Fikri | Modangan RT01/02, Nglegok, Blitar |
43 | Miftahul Huda | Sawentar Kanigoro Blitar |
44 | Moh. Dliyaur Rochim | Nglurung, Sendang, Tulungagung |
45 | Muhammad Ali Wafa | Margomulyo RT03/03, Watulimo, Trenggalek |
46 | Muhammad Ikhwanul Hakim | Balesono, Ngunut, Tulungagung |
47 | Muhammad Mubasir | Krandegan, Wonorejo, Sumbergempol, Tulungagung |
48 | Muhammad Rizal | Ngadisuko Durenan Trenggalek |
49 | Nur Rodhi Sirri | Bendiljat Wetan, Sumbergempol, Tulungagung |
50 | Syahrial | Muaradua Peninjauan |
51 | Frengky Eka Leksmana | Gandusari-Trenggalek |
52 | Ahmad Abdul Aziz A. | Jengglungharjo-Tanggung Gunung-Tulungagung |
53 | M. Agus Khafid Abdulloh | Ds.Banyakan-Kediri |
54 | M. Khomsin Ahsan | Bacem-Sutojayan-Blitar |
55 | M. Najib Bahir | Gampeng Rejo-Kediri |
56 | M.Saiful Anwar | Kamulan-Durenan-Trenggalek |
57 | Muhammad Ali Fatih Sirojudin | Ngadirenggo-Pogalan-Trenggalek |
58 | Nasrul Mudofi | Bendiljati-sumbergempol-tulungagung |
59 | Ridwan Ibnu Wahid | Waykenanga-Tulang bawang Barat |
60 | Slamet Riadi | Kayuagung-OKI-Sumsel |
61 | A. Khoiri | Pakisaji-Kalidawir-Tulungagung |
62 | Arwani Ilyas | Kedungwilut-Bandung-Tulungagung |
63 | Kabib Hidayatulloh | Tambakrejo-Sumbergempol-Tulungagung |
64 | M. Ali Mustofa | Pandean-Durenan-Trenggalek |
65 | M. Kamal Zidki | Kudus |
66 | Miftahul Nur Fuaddin | Garum-Blitar |
67 | Moh. Zuhri Hasbulloh | Kamulan-Durenan-Trenggalek |
68 | Muh. Syukron Hamdani | Kalibatur-Kalidawir-Tulungagung |
69 | Muhammad Burhan Mungafi | Pakis-Durenan-Trenggalek |
70 | Muhammad Muhsin | Kalibening-tingkir-Salatiga |
71 | Muhammad Priyo Budi Utomo | Pringapus-Ungaran-semarang |
72 | Syafingi | Bendilwungu-Sumbergempol-Tulungagung |
73 | M. Adib | Srimulyo-Oku Timur-Palembang-Sumsel |
74 | M. Budiman | Srimulyo-Palembang-Sumsel |
75 | M. Zuhdi | Ds.Gunung Gangsir-Beji-Pasuruan |
76 | Muhammad Irsyadun Nufud | Tamansari-Wulunan-Jember |
77 | Abdul Rohman | Kota Baru-Martapura-Oku Timur |
78 | Abdul Mu'is | Mirigambar-Sumbergempol-Tulungagung |
79 | Abdul Muta'ally | Cilamaya-Karawang-JaBar |
80 | Ahmad khoirun nasikhin | Kedung Cangkring-Pagerwojo-T.Agung |
81 | Ahmad Khotmut Tamami | Wuluhan -Jember |
82 | Ahmad Nurul Sulkhi | Palaran-Samarinda-Kaltim |
83 | Fathur Rohman | Contong Njungahan-Bandung-Tulungagung |
84 | Hasanuddin Hidayatulloh | Pulosari-Ngunut-Tulungagung |
85 | M. Khamim wahyudi | Panjerejo-ejotangan-Tulungagung |
86 | M. Nur Mukhlison | KarangTaln-Kalidawer-Tulugagung |
87 | M. Qoyyimuddin | Pulosari-Ngunut-Tulungagung |
88 | Muhamad Syuhada Prastya | Sekampung-LampungTimur |
89 | Mohamad Abdul Azis | Sumberingin Kidul-Ngununt-Tulungagung |
90 | Muhamad Tsani Riawan | Sumber Rezeki-Sungai Lilin Muba |
91 | Riadul Mutaib | Pubian-Lampung Tengah |
92 | Zainul Fuad | Goran-Nglegok-Blitar |
93 | Abdul Mujib Baidhowi | Kayu Agung-Palembang-Sumatra Selatan |
94 | Achmad Mabrurin | Branggahan-Ngadiluweh-Kediri |
95 | Fendi Sakti Nugroho | Semarang -Jawa Tengah |
96 | Ibnu Pitoyo | Soko-Bandung-Tulungagung |
97 | M. Bahroni | B.Agung-B.Sribawono-KalTim |
98 | M. Hasan Basri | Bumi Mulyo-Sekampung Udik-Lampung Timur |
99 | M. Ibnu Rizal | Sumberjo-Maspati-Magetan |
100 | M. Mudhofar | Rowosari-Salatiga |
101 | M. Rijalalloh | Wainginsari Timur-Adiluweh-Pringsewu-Lampung |
102 | Moh. Rizul Mustofa | Bangle-Kanigoro-Blitar |
103 | Miftahudin | Pringapus-Semarang-JaTeng |
104 | Moh. Said Daroini | mojo-Kediri |
105 | Muhamad Ibnu Qosidil Haqqi | Indragiri-Hilir-Riau |
106 | Rizal Fahmi | Pondok Petir-bojongsari-Depok |
107 | Sugeng Widodo | Joho-Kalidaer-Tulungagung |
108 | Ahmad Najib Zainul W. | Ds Sobontoro Kec Karas Kab Magetan |
109 | Ahmad Ngainu Roziqin | Pakis-Durenan-Trenggalek |
110 | Fuad Samsul Hadi | Karang Bendo Ponggok Blitar |
111 | M. Said Al Fattah | Gondang Tugu Trenggalek |
112 | Muhamad Khoirul Munir | Ds Domasan Kec Kalidawer Tulungagung |
113 | Muhammad Alif Imron R. | Rowo Polo Rowosari Tuntang Semarang |
114 | Muhammad Sirojul Mufti | Ds Tiudan Kec Gondang Kab Tulungagung |
115 | Ridi Suwandi | Sungai Manang Oki Palembang Sum Sel |
116 | Riesky Riza Syuhada | Aryojeding Rejotangan Tulungagung |
117 | Syamsul Anhar Sya'in | Sukorejo Gandosari Trenggalek |
118 | Ahmad Azka Fawaid | Ds Modangan Kec Nglegok Kab Blitar |
119 | Ahmad Lathoiful Huda M. | Ds Kalisuka Dukuhwaru Kab Tegal |
120 | Haris Jauhar Alifi | Balesono Kec Ngunut Tulungagung |
121 | M. Niam Fahmi | Bendorejo Pogalan Trenggalek |
122 | Muchamad Ali Murtadho | Trenceng Sumbergempol Tulungagung |
123 | Muchamad Barik Almaksum | Ds Kromasan Kec Ngunut K Tulungagung |
124 | Muchamad Nur Khanifan | Ds Tlogo Kec Kanigoro Kab Blitar |
125 | Muh. Hamdan Fathur Rohim | Ds Gilang Kec Ngunut Kab Tulungagung |
126 | Muhammad Fauzi Ridwan | Salakkembang Kalidawer Tulungagung |
127 | Ngabdurohman | Wonorejo Sumbergempol Tulungagung |
128 | Rachmadani Sancoko | Tanjung Tani Prambon Nganjuk |
129 | Zainal Fanani | Kamulan Durenan Trenggalek |
130 | Zhafran Mahfuzh | Pringapus Semarang Jawa Tengah |
131 | M. Mukhlis Hidayatulloh | Ds Combang Garum Blitar |
132 | Abdul Rohman | Trenceng Sumbergempol Tulungagung |
133 | Ahmad Ngubaidillah | Jabalsari-Sumbergempol-Tulungagung |
134 | Ahmad Usaidat Tawwabi | Tambangan Ngadiluwih Kediri |
135 | Ahmad Zakaria | Rintik Babulu Penajang Pu |
136 | Alfan Khoir | Begadangjaya Sungaililin Musi Banyuasin |
137 | Alfian Fauzi | Tulangbawangbarat Lampung |
138 | Angga Bobby Hanafi | Kalidawir Tulungagng |
139 | Dwi Fajar Mufti | Mundubungur Karangrejo Tulungagung |
140 | Fatkhur Rokhim | Ramapuja Ramanutara Lam-Tim-Lampung |
141 | Khoiril Ahmad Tarmizi | Mrangin Jambi |
142 | M. Ilham Nurul Musthofa | Sangetar Kanigoro Blitar |
143 | M. Ngafifudin Ashari | Wlingi Blitar |
144 | Mohamad Khoirul Nizam | Domasan-Kalidawir-Tulungagung |
145 | Muhammad Abdul Rohman | Rawa Makmur Samarinda Kaltim |
146 | Muhammad Choirut Tajuddin | Pakisaji Tugu Rejotangan Tulungagung |
147 | Muhammad Puji Hardiyanto | Rungkut Surabaya |
148 | Muhammad Salis Arisna M. | Tunggangri Kalidawir Tulungagung |
149 | Muhammad Shofiyuddin | Kalibatur Kalidawir Tulungagung |
150 | Muhammad Vahrudinnafingi | Tasikmadu Watu Limo Trenggalek |
151 | Satriyo Hutama Putra | Sranggahan Boyolangu Tulungagung |
152 | Wahyu Bisri Mananta M.K. | Sumbergempol Tulngagung |
153 | Ade Tryanda | Rawa Makmur Samarinda Kaltim |
154 | Ahmad Ifanudin | Tulangbawangbarat Lampung |
155 | Alfim Syafa'uddin Niami | Awang Pakisaji Kalidawir Tulungagung |
156 | Mohamad Arwani Ma'ruf | Jatisari Kademangan Blitar |
157 | Muh Maghfur Fatoni | Kalibening Tingkir Salatiga Jateng |
158 | Abdul Rohim | Ratau Prasau Tanjung Jabung Timur |
159 | Ahmad Qusyairi | Pucang Anan Kebon Sari Madiun |
160 | Ahmad Sodik | Srimulya Madang Suku 2 Oku Timur Sunsel |
161 | Ahmad Zulkifli | Prawajitu Tulang Bawang |
162 | Amirul Hakim | Kibang Yekti Jaya Lambu Kibang |
163 | Anas Maliki | Karanganom Durenan Trenggalek |
164 | Andik Rifa'i | Ngobalan Kalidawer Tulungagung |
165 | As'ad Syamsul Arifin | Kali Bator Kalidawer |
166 | Dwi Anggih Rahmawan | Suko Rame Gandu Sari Tulungagung |
167 | Imron Rusadi | Blam Jaya Way Kenangan Tulang Bawang |
168 | Irfan Zainur Rohman | Tanggul Kundung Besuki Tulungagung |
169 | Ja'far Abdul Latief | Pring Apus Semarang |
170 | Jimmy Fabian Sukma | Aryo Jeding Rejotangan |
171 | Maksum | Sidorejo Muara Padang |
172 | Mochamad Darul Anshori | Tenggong Rejotangan |
173 | Moh. Aziz Nurdiansah | Buntaran Rejotangan |
174 | Mohammad Afnan Hafiy | Balesono Ngunut Tulungagung |
175 | Much. Ibnu Thoyyib Muzakki | Aryo Jeding Rejotangan |
176 | Muhamat Mufit | Srimulya Madang Suku 2 Oku Timur Sunsel |
177 | Muhammad Fahrisqi Fadhilah | Sumberejo Durenan |
178 | Muhammad Habib Mustofa | Salak Kembang Kalidawer |
179 | Muhammad Habibi Nursalim | Jabalsari Sumbergempol |
180 | Muhammad Muhdor | Pager Sari Kalidawer |
181 | Mukorobin | Embun Sari Pemajung Jambi |
182 | Niwang Ali Muchson | Pangung Kuning Pucang Labang |
183 | Wahyu Hendra Wiranata | Kalidawe Pucang Laban Tulungagung |
184 | ||
185 |
Langganan:
Postingan (Atom)